Indonesia merupakan salah satu dari kekuatan tradisional bulu tangkis dunia. Sejak dulu Indonesia melahirkan banyak talenta berbakat yang mampu berbicara banyak di persaingan elite. Salah satu kekuatan utama Indonesia adalah sektor ganda putra. Tim Merah Putih juga kuat di nomor tunggal putra.
Bulu tangkis juga sudah lama menjadi olahraga populer di Indonesia, bersanding dengan sepak bola. Bahkan, para pemain bulu tangkis terbaik Indonesia tak hanya diakui di dalam negeri, tapi juga disegani di tingkat dunia.
Kerap kali, prestasi membanggakan dibawa pulang putra-putri terbaik bangsa ke Tanah Air, mulai dari gelar jawara turnamen bergengsi hingga medali emas Olimpiade.
Berikut ini adalah para Atlit Badmintoon yang melegenda di Indonesia dengan prestasi yang luar biasa
Tan Joe Hok (Sang Pionir)
Tan Joe Hok menjadi salah satu pebulu tangkis andalan Indonesia pada era 60-an. Bisa dibilang pria yang juga punya nama Hendra Kartanegara ini adalah pionir atlet bulu tangkis Indonesia yang meraih prestasi kelas dunia.
Tan adalah perintis tim Piala Thomas Indonesia. Ia dikenal sebagai salah satu dari anggota tujuh pendekar bulu tangkis bersama Ferry Sonneville, Lie Poo Djian, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Olich Solichin, dan Kadir Yusuf.
Mereka menjadi anggota tim Piala Thomas yang merebut lambang supremasi beregu putra itu pada 1958 saat menang 6-3 atas Malaysia di Singapura. Setelah itu, Tan memperkuat Indonesia kala meraih gelar juara Piala Thomas pada 1961 dan 1964.
Tan Joe Ho k menjadi pebulu tangkis Indonesia pertama yang meraih gelar juara di turnamen prestisius All England pada 1959. Ia juga meraih medali emas Asian Games pada 1962.
Rudy Hartono (Raja All England)
Sang Maestro, begitulah julukan Rudy Hartono lantaran keindahannya dalam bermain bulu tangkis. Atlet kelahiran Surabaya ini punya prestasi mentereng yang hingga kini belum bisa disamai oleh atlet manapun.
Rudy menjuarai turnamen All England sebanyak delapan kali, tujuh di antaranya berturut turut pada 1968-1974. Satu gelar All England terakhir diraih Rudy dengan mengalahkan Liem Swie King pada turnamen 1976.
Kala itu, sempat ada dugaan kemenangan itu diberikan King yang masih berusia 20 tahun buat Rudy yang menjadi seniornya. Hingga kini, misteri masih menyelimuti laga tersebut karena King tak pernah mau menjawab jika ditanya kebenaran soal dugaan memberi kemenangan itu.
Rudy meraih gelar juara dunia pada 1980. Selain itu, ia enam kali menjadi anggota Piala Thomas, empat di antaranya mengantar Indonesia menjadi juara. Popularitas yang diraih Rudy sempat membawanya membintangi film berjudul Matinya Seorang Bidadari pada 1971.
Liem Swie King (King Smash)
Liem Swie King mulai mencuri perhatian ketika lolos ke final All England di usianya yang baru 20 tahun pada 1976. Kala itu ia kalah dari sang senior, Rudy Hartono.
Namun kegagalan itu cuma sukses yang tertunda. King kemudian meraih berbagai gelar bergengsi seperti All England sebanyak tiga kali (1978, 1979, 1981), juara Asian Games 1978, dan sederet trofi turnamen lain. Ia masuk sebagai anggota tim Piala Thomas sebanyak enam kali, tiga di antaranya ikut mengantar Indonesia menjadi juara pada 1976, 1979, 1984.
Senjata andalan King adalah pukulan smash yang dilakukan sambil melompat. Pada era itu, melepas smash dengan cara seperti itu belum lazim dilakukan. Teknik itu akhirnya tenar dengan sebutan 'King Smash'.
Tak hanya hebat sebagai pemain tunggal. King juga cukup sukses bermain di ganda putra. Ia berpasangan dengan Kartono kala merebut gelar juara dunia pada 1984 dan 1985. Gelar tersebut kembali diraih kala berganti pasangan dengan Bobby Ertanto pada 1986.
Bersama Bobby, King juga merasakan juara Piala Asia 1987. Pada tahun yang sama kala berganti partner dengan Eddy Hartono, giliran juara SEA Games dan Indonesia Open yang diraih.
Alan Budikusuma (Emas Olimpiade)
Nama Alan Budikusuma sampai kapan pun akan dikenang sebagai pebulu tangkis yang pernah membawa nama harum Indonesia di pentas internasional. Medali emas yang diraih Alan di Olimpiade Barcelona 1992 adalah penyebabnya.
Pada masa itu sektor tunggal putra Indonesia punya stok pemain yang melimpah. Alan harus bersaing dengan pemain seangkatannya seperti Joko Suprianto, Ardy B. Wiranata, Hermawan Susanto, Fung Permadi, hingga Hariyanto Arbi.
Alan, pemain asal Surabaya itu, sebelum Olimpiade digelar tak memiliki prestasi yang benar-benar fenomenal. Namun Alan menemukan bintang terangnya kala tampil di Olimpiade Barcelona dan menjadi juara.
Medali emas itu adalah yang pertama buat Indonesia sepanjang keikutsertaan di Olimpiade. Kebahagiaan Alan bertambah karena sang kekasih yang kini menjadi istrinya, Susy Susanti, juga meraih emas di nomor tunggal putri.
Hariyanto Arbi (Smash 100 watt)
Setelah Liem Swie King pensiun di akhir tahun 80-an, tak ada lagi pebulu tangkis Indonesia yang punya permainan yang sama dengannya. Sampai kemudian muncul Hariyanto Arbi di awal tahun 90-an. Hari berasal dari keluarga bulu tangkis karena dua kakaknya, Hastomo Arbi dan Eddy Hartono juga merupakan pemain andalan Indonesia.
Hari yang memang mengidolakan King, memiliki ciri permainan yang sama, yaitu mengandalkan smash lompat yang menghujam pertahanan lawan. Senjata Hari itu kemudian dijuluki dengan sebutan “Smash 100 Watt”.
Dengan senjata andalannya itu, Hari merengkuh gelar All England 1993 dan 1994. Gelar bergengsi lainnya yang diraih Hari adalah Juara Dunia 1995. Hari juga menjadi andalan tim Piala Thomas Indonesia kala menjadi juara pada tahun 1994, 1996, 1998, dan 2000.
Taufik Hidayat (Pesona Sang Bad Boy)
Setelah era Taufik Hidayat, bisa dibilang Indonesia tak lagi memiliki pebulu tangkis tunggal putra yang disegani di dunia. Prestasi paling mentereng yang diraih Taufik adalah menjadi Juara Olimpiade Athena 2004 dan Juara Dunia 2005.
Bersama tim Piala Thomas, Taufik merasakan gelar juara 2000 dan 2002. Menantu dari Agum Gumelar ini juga menjadi juara Asian Games Busan 2002 dan Doha 2006.
Di luar prestasinya tersebut, Taufik punya banyak cerita kontroversial dan sempat membuatnya dijuluki sebagai Bad Boy. Ia kerap mengeluarkan pernyataan dan kritikan yang membuat kuping pengurus PBSI merah.
Ia juga pernah terlibat perselisihan dengan pengurus PBSI dan masyarakat biasa di luar lapangan. Selain itu, kisah cintanya dengan Wynne Prakusya (atlet tenis), Nola AB Three, dan Deswita Maharani (artis) membuat Taufik dikenal sebagai atlet dengan daya tarik ala selebritas.
Hingga kini, belum ada lagi pebulu tangkis Indonesia di nomor tunggal putra yang punya keistimewaan seperti enam atlet tersebut. Tentu menjadi pekerjaan buat PBSI untuk kembali melahirkan pemain hebat yang akhirnya layak disebut sebagai legenda.